Jumat, 23 September 2016

MENGENAL PENYAKIT DAN KASUS SLE



Systemic lupuserytematosus (SLE) atau lupus erytematosus sistemik (LES) merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2009).

SLE adalah suatu penyakit inflamasi atau autoimun kronik yang ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang berlainan. SLE merupakan penyakit sistem daya tahan atau penyakit auto imun, dimana tubuh pasien membentuk antibodi yang salah arah, yang merusak organ tubuh sendiri seperti sendi, ginjal, hati, leukosit, atau trombosit (Elizabeth, 2009). 
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang diseluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia, 2012). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3-4000 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika-Amerika, Cina dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Kepala Badan Litbang Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, dr. Dr. Trihono, MSc menyatakan bahwa di Indonesia, orang penderita lupus (ODAPUS) diperkirakan berjumlah 1,5 juta orang dengan 100.000 ODAPUS baru ditemukan setiap tahunnya. Berdasarkan data Yayasan Lupus Indonesia, jumlah ODAPUS di Indonesia meningkat dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 yaitu tercatat 8018 orang (Yayasan Lupus Indonesia, 2012).

Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Elizabeth, 2009).
PenderitaSLE dengan manifestasi kulit dan muskuloskeletal mempunyai survival rate yang lebih tinggi daripada manifestasi klinik renal dan central nervous system (CNS). Meskipun mempunyai survival rate yang berbeda, penderita dengan SLE mempunyai angka kematian tiga kali lebih tinggi dibandingkan orang sehat. Saat ini prevalensi penderita yang dapat mencapai survival rate 10 tahun mendekati 90% dimana pada tahun 1955 survival rate penderita yang mencapai 5 tahun kurang dari 50%. Peningkatan angka ini menunjukkan peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE  yang berkaitan dengan deteksi yang lebih dini, perawatan dan terapi yang  benar sejalan dengan perkembangan ilmu  kedokteran dan farmasi (Delafuente, 2008).
SLE merupakan penyakit autoimun menahun yang diderita penderita seumur hidup, oleh karena itu pentingnya penatalaksanaan medis dengan tujuan mengontrol manifestasi penyakit, sehingga dapat memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat menyebabkan kematian (Hockenberry & Wilson, 2009).
PenderitaSLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan diinduksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan di dasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis pada penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti Inflamasi Drug), obat-obatan antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obatan anti kanker (imunosupresan). Perawatan serta pemahaman keluarga mengenai penyakit harus dioptimalkan sehingga dapat ikut serta mencegah terjadinya eksaserbasi dan komplikasi akibat penyakit. Discharge planning telah menjadi bagian dari keperawatan dan diakui sebagai aspek penting dari perawatan pasien saat masuk sampai dengan pemulangan. Perencanaan pulang adalah proses dimana pasien dibantu untuk mengembangkan rencana perawatan untuk pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, bahkan setelah ia dapat keluar dari rumah sakit. Tujuan daripada discharge planning adalah untuk mempertahankan kontinuitas perawatan yang komprehensif dan aplikatif bagi perawat dan keluarga (Felong, 2008).