Systemic lupuserytematosus (SLE) atau lupus erytematosus sistemik (LES) merupakan
penyakit radang atau inflamasi multisystem yang penyebabnya diduga karena
adanya perubahan sistem imun (Albar, 2009).
SLE adalah suatu penyakit inflamasi
atau autoimun kronik yang ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap
beberapa antigen diri yang berlainan. SLE
merupakan penyakit sistem daya tahan atau penyakit auto imun, dimana tubuh
pasien membentuk antibodi yang salah arah, yang merusak organ tubuh sendiri
seperti sendi, ginjal, hati, leukosit, atau trombosit (Elizabeth,
2009).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang diseluruh dunia (Yayasan
Lupus Indonesia, 2012). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda
bervariasi antara 3-4000 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa
Afrika-Amerika, Cina dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE
kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000
populasi (Bartels, 2006). Kepala Badan Litbang Kesehatan Kementrian Kesehatan
RI, dr. Dr. Trihono, MSc menyatakan bahwa di Indonesia, orang penderita lupus
(ODAPUS) diperkirakan berjumlah 1,5 juta orang dengan 100.000 ODAPUS baru
ditemukan setiap tahunnya. Berdasarkan data Yayasan Lupus Indonesia, jumlah
ODAPUS di Indonesia meningkat dari
tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 yaitu tercatat 8018 orang (Yayasan Lupus Indonesia, 2012).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun
2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena
SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi
penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian
terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah
yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum
terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi,
pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE
bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik,
neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan
kematian janin (Elizabeth, 2009).
PenderitaSLE dengan manifestasi kulit dan muskuloskeletal mempunyai survival rate
yang lebih tinggi daripada manifestasi klinik renal dan central nervous
system (CNS). Meskipun mempunyai survival rate yang berbeda,
penderita dengan SLE mempunyai angka kematian tiga kali lebih tinggi
dibandingkan orang sehat. Saat ini prevalensi penderita yang dapat mencapai survival
rate 10 tahun mendekati 90% dimana pada tahun 1955 survival rate
penderita yang mencapai 5 tahun kurang dari 50%. Peningkatan angka ini
menunjukkan peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE yang berkaitan dengan deteksi yang lebih
dini, perawatan dan terapi yang benar
sejalan dengan perkembangan ilmu
kedokteran dan farmasi (Delafuente, 2008).
SLE merupakan
penyakit autoimun menahun yang diderita penderita seumur hidup, oleh karena itu
pentingnya penatalaksanaan medis dengan tujuan mengontrol manifestasi penyakit,
sehingga dapat memiliki
kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi, sekaligus
mencegah kerusakan organ serius yang dapat menyebabkan kematian (Hockenberry
& Wilson, 2009).
PenderitaSLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar. Pengobatan pada
penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan diinduksi remisi serta
mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena
manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan di dasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
digunakan pada terapi farmakologis pada penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid
Anti Inflamasi Drug), obat-obatan antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obatan
anti kanker (imunosupresan). Perawatan serta
pemahaman keluarga mengenai penyakit harus dioptimalkan sehingga dapat ikut
serta mencegah terjadinya eksaserbasi dan komplikasi akibat penyakit. Discharge
planning telah menjadi
bagian dari keperawatan dan diakui sebagai aspek penting dari perawatan pasien
saat masuk sampai dengan pemulangan. Perencanaan
pulang adalah proses dimana pasien dibantu untuk mengembangkan rencana
perawatan untuk pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, bahkan setelah ia dapat
keluar dari rumah sakit. Tujuan daripada discharge
planning adalah untuk mempertahankan kontinuitas perawatan yang komprehensif dan aplikatif
bagi perawat dan keluarga (Felong, 2008).